>>
Anda sedang membaca ...
New Hope

Menghilang untuk Bisa Banyak Belajar

Senin, 19 Januari 2015
New Hope 02

Salah satu kebebasan yang saya nikmati saat ini adalah bisa kembali belajar dengan leluasa. Belajar apa saja. Dulu saya mewajibkan diri agar enam bulan sekali ”belajar” ke Amerika Serikat: shopping idea, belanja ide.

Itulah sebabnya perkembangan Jawa Pos di kemudian hari menjadi ”sangat Amerika”. Beda dengan koran-koran Jakarta saat itu yang ”sangat Eropa”

Belakangan, ketika Tiongkok maju luar biasa, saya jarang ke Amerika. Belajarnya pindah ke Tiongkok. Begitu sering saya ke Negeri Panda itu. Setahun bisa delapan kali. Bahkan pernah 12 kali. Jarak Tiongkok yang begitu dekat membuat saya bisa belajar lebih sering.

Kalau ke Amerika shopping saya shopping idea, ke Tiongkok saya shopping spirit. Spirit ingin maju. Di Tiongkok-lah, saya melihat sebuah masyarakat yang keinginan majunya begitu tinggi. Hasilnya pun nyata. Dalam sekejap, Tiongkok mengalahkan Jerman. Kemudian Jepang. Dan mungkin tidak lama lagi mengalahkan biangnya: Amerika.

Sejak menjadi pejabat pemerintah tiga tahun lalu, semua kenikmatan itu berakhir. Saya harus tahu diri. Menjadi pejabat tidak boleh sering-sering ke luar negeri. Biarpun pergi ke luar negeri untuk urusan menteri dengan menggunakan uang pribadi. Sering pergi ke luar negeri tetaplah tidak sopan.

”Merdeka!” teriak saya dalam hati.

”Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya istri saya.

”Besok saya ke Tiongkok,” jawab saya.

Lho, besok kan ke Lingga?” sergah istri saya. Menurut jadwal, saya memang harus ke Pulau Lingga dan Pulau Singkep. Untuk menyiapkan program sociopreneur di lahan-lahan rusak bekas tambang timah.

”Ya, dari Lingga kan bisa langsung ke Tiongkok. Lewat laut. Ke Singapura dulu,” jawab saya.

Maka, hari itu, dalam empat hari, saya menjelajah tujuh kota di empat provinsi di Tiongkok. Membanding-bandingkan teknologi. Untuk mengubah tanaman kaliandra menjadi energi. Belajar lagi. Belajar lagi.

Tentu saya juga ingin tahu apa yang sedang hot dibicarakan oleh masyarakat luas di Tiongkok. Dulu, 15 tahun yang lalu, masyarakat sudah mengira Xi Jinping bakal jadi presiden suatu saat kelak. Kini mereka bicara tentang kian kuatnya posisi Presiden Xi Jinping dalam konsolidasi kekuasaan. Lebih kuat daripada posisi presiden sebelumnya, Hu Jintao. Kini ”Tiongkok adalah Xi Jinping dan Xi Jinping adalah Tiongkok”. Dengan demikian, keputusan-keputusan politik di Tiongkok menjadi sangat efektif.

Tapi, tak kalah ramainya pembicaraan ringan yang satu ini: bagaimana bisa anak umur tiga tahun memenangi acara TV Tiongkok Mencari Bakat dan bagaimana bisa penyanyi berjilbab menempati urutan kelima ”penyanyi yang paling digemari” di Tiongkok.

Anak kecil itu, hebatnya, bisa joget apa saja. Mulai Gangnam Style sampai gaya robot. Bahkan bisa bicara filsafat hidup. Namanya Zhang Junhao. Ketik saja nama itu di YouTube. Akan muncul berbagai gayanya yang menggemaskan dan mengharukan. Tapi, finalis satunya, anak perempuan empat tahun bernama Xixi, juga tidak kalah hebat.

Ketika juri (salah satunya bintang film terkemuka Jet Li) bingung menentukan pemenang, dua finalis cilik itu diminta naik ke panggung. ”Kalian berdua layak maju ke grand final di Beijing. Tapi, hanya satu yang harus dipilih. Bagaimana pendapatmu, Junhao?” tanya juri.

”Pilih saja dia,” kata Junhao sambil memandang saingannya itu dengan sendu. Sendunya anak berumur tiga tahun.

”Kenapa?” tanya juri.

”Karena saya laki-laki,” jawabnya.

Tapi, siapa pun tahu bahwa Junhao jauh lebih layak. Juri kagum akan jiwa besarnya, tapi tetap memilihnya. Anak sopir truk dari salah satu desa di Shandong tersebut kelihatan sedih. Dia lantas memegang lengan Xixi. ”Berusaha teruslah agar tetap dipilih,” ujar Junhao, merayu Xixi. Akhirnya, juri menyatakan Xixi pun dapat jatah ke Beijing.

Menurut sang ibu, Junhao sudah bisa berjalan saat berumur sepuluh bulan. Lalu, setiap ibunya senam joget di lapangan, anak kecil itu ikut dan selalu meniru. Kepala yang digundul dan bicara yang lantang membuat Junhao benar-benar menggemaskan.

”Junhao punya keinginan apa?” tanya juri.

”Membagi kebahagiaan,” katanya. ”Setiap saya joget, ibu saya tertawa. Beliau tampak bahagia. Saya ingin membagi kebahagiaan kepada siapa saja,” katanya.

Junhao pun laris manis. Stasiun-stasiun TV mengundangnya untuk tampil. Termasuk tampil bersama penyanyi terpopuler nomor 5 di seluruh Tiongkok saat ini: Shila (Nama lengkap: Shila Amzah. Umur: 24 tahun. Agama: Islam. Pakaian panggung: Baju panjang dan hijab/jilbab).

Shila sebenarnya penyanyi Malaysia. Tapi, teman karibnya, perempuan Tionghoa, berhasil merayunya untuk mengembangkan karir di Tiongkok. ”Pasar musik terbesar dunia saat ini adalah Tiongkok,” kata temannya itu.

Shila setuju. Dia menyanyikan banyak lagu Mandarin. Mengena. Suaranya yang tinggi dan fasihnya melafalkan lagu Mandarin membuat Shila sangat populer. Dia pun belajar bahasa Mandarin.

Di negara komunis itu, Shila tidak menyembunyikan kemuslimahannya. Justru lebih menjadikannya ciri khas. Waktu menyanyi di Malaysia, rambut Shila masih terurai. Kini di Tiongkok, dia justru berhijab. Hanya, pakaian muslimahnya itu tidak membatasi geraknya. Jingkraknya tetap jingkrak rocker saat Shila membawakan lagu rock.

Kita pun punya calon Shila di Indonesia: Indah Nevertari. Juara Rising Star Indonesia di RCTI bulan lalu. Bukalah YouTube. Lihat keduanya: bandingkan! Lalu, saya pergi ke Spanyol. Tanpa sungkan dinilai sering ke luar negeri. Resminya untuk liburan keluarga. Tapi, sebenarnya ada agenda tersembunyi yang saya rahasiakan dari istri dan anak-menantu. Semula tujuan liburannya Turki dan Lebanon. Gagal. Gara-gara keluarga tahu saya berniat ”menyelinap” ke Damaskus, ibu kota Syria yang lagi bergolak. Jiwa kewartawanan saya memanggil. Kalau jadi ke Lebanon, saya ingin menghilang satu hari ke Damaskus. Kalaupun sulit ke sana (karena lagi perang), saya akan ke Gunung Kelima yang jadi judul novel Paulo Coelho itu. Yakni, gunung pemujaan umat Nabi Elia (versi Injil) yang musyrik dengan membuat patung sapi (versi Alquran surat Al Baqarah).

Keluarga akhirnya memilih Spanyol. Agenda rahasia saya tidak berisiko: 1). Melihat proyek pertama di dunia: Pembangkit listrik tenaga cermin; 2). Melihat kemajuan sistem perkeretaapian di Spanyol. Sebab, saya dulu sering memberangkatkan anak-anak muda PT KAI yang dikirim Dirut-nya, Pak Ignasius Jonan, ke Valencia untuk inspirasi pembenahan kereta api Indonesia.

Karena itu, saya menyelipkan nama Valencia sebagai salah satu kota tujuan liburan. Di samping Madrid, Toledo, Cordoba, dan Barcelona. Alasan resminya: agar bisa nonton pertandingan Liga Spanyol yang hari itu seru: Valencia melawan Real Madrid. Tapi, sebenarnya saya hanya ingin sebanyak mungkin naik kereta api. Ke semua tujuan itu. Baik antarkota besar yang ternyata keretanya sudah berkecepatan 300 km per jam atau antarkota kecil yang ternyata keretanya juga sudah berkecepatan 250 km per jam.

Spanyol ternyata lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Juga tempat belajar yang baik. (*)

Diskusi

44 respons untuk ‘Menghilang untuk Bisa Banyak Belajar

  1. Pertamax

    Posted by @ndokaja | 19 Januari 2015, 7:31 am
  2. Seandainya saja banyak pejabat seperti Pak Dahlan yang berdedikasi tinggi, insyaAlloh Indonesia maju LUAR BIASA!!

    http://motorrio.com/2015/01/18/12-falsafah-hidup-jawa-membangun-kedamaian-hidup/

    Posted by Rio | 19 Januari 2015, 7:33 am
  3. Kalo para anggota DPR melakukan studi banding ke luar negeri dgn biaya masing2 kan bisa menghemat anggaran belanja negara. Selamat studi banding Abah, semoga hasilnya bisa untuk memajukan bangsa. Hati-2 jangan pergi ke tempat peperangan …..hehe…..

    Posted by HWAHYU | 19 Januari 2015, 7:47 am
  4. Menarik sekali tulisan Pak Dahlan. Setiap kali saya berkunjung ke luar negeri, saya kerap mempelajari kehidupan masyakatnya dan membandingkannya dengan kehidupan di masyarakat kita. Saya selalu berpikir dengan demikian kita bisa mencuri ilmu dari mereka dengan mengadopsi yang baik dan membuang jauh-jauh yang buruk agar kita dapat maju baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Apalagi di tengah perkembangan jaman modern ini di mana masyarakat kita cenderung mengelu-elukan bangsa lain yang lebih maju dan menghina-dina bangsa sendiri. Ngenes rasanya.

    Posted by Oktofani | 19 Januari 2015, 7:49 am
  5. Reblogged this on JNYlink.

    Posted by JNYnita | 19 Januari 2015, 8:00 am
  6. Subhanallah,….semoga semangat belajarnya pak Dahlan bisa nular ke saya dan anak2 muda Indonesia…amin….juga salut dgn tata krama bapak…sekarang manggil bekas bawahan dgn bapak…(Dikirim Dirut-nya, Pak Ignasius Jonan)

    Posted by Zainal Abidin | 19 Januari 2015, 8:12 am
  7. Serasa ikut perjalanannya..saya Ikutan semangat pak…

    Posted by Caderabdulpacker.com | 19 Januari 2015, 8:22 am
  8. Terimakasih….hanya itu yang bisa saya sampaikan…..

    Posted by Alphonsus Agus | 19 Januari 2015, 8:38 am
  9. Pencerahan senin pagi, Alhamdulillah

    Posted by MChoir | 19 Januari 2015, 8:40 am
  10. senin abah,rabo ulik…semangat!!!

    Posted by muh mundir | 19 Januari 2015, 8:45 am
  11. matur nuwun abah,,,,,,,,,,,,,

    Posted by poetoet | 19 Januari 2015, 9:16 am
  12. Liburan di Antara Kesibukan Eyang
    oleh : Azrul Ananda
    14 Januari 2015

    Tahun baru, semangat baru. Biasanya sih begitu.

    Banyak orang baru kembali dari liburan, baru selesai tekan tombol reset dan memulai lagi ”mesin kehidupan”.

    Terus terang, bagi saya dan keluarga besar, 2015 ini bermula dengan sesuatu yang belum pernah kami lakukan bersama: Benar-benar liburan keluarga bersama.

    Terus terang, keluarga kami termasuk keluarga ”tidak normal”. Dan ini cerita tentang liburan keluarga ”tidak normal” itu…

    ***

    Sejak saya kecil, kami nyaris tidak pernah berlibur bersama. Saya dan adik saya, Isna, kebetulan punya ayah bernama Dahlan Iskan. Seorang ”Superman” yang gila kerja dan kebetulan bekerja di dunia koran yang membuatnya bekerja nyaris 24 jam.

    Ketika kecil, kami berangkat sekolah di pagi hari, abah –panggilan kami untuk beliau– masih tidur karena baru pulang dini hari. Ketika kami pulang di siang hari, beliau sudah berangkat kerja. Ketika dia sempat pulang sore hari, kami tidak di rumah karena bermain di luar atau les.

    Ketika kami kembali menjelang gelap, beliau sudah berangkat lagi, kerja sampai dini hari.

    Yada yada yada, waktu berlalu…

    Lulus SMP, saya berangkat ke Amerika untuk mulai SMA di sana. Adik saya menyusul tiga tahun kemudian, juga setelah lulus SMP. ”Mumpung mampu,” kata abah.

    Sesekali beliau atau ibu mampir ke Amerika. Dan kami pun diminta pulang ke Indonesia minimal setahun sekali (supaya terus ”menginjak bumi,” kata abah).

    Yada yada yada, waktu berlalu…

    Setelah lulus kuliah dan saya mulai melangkah di Jawa Pos, hubungannya tidak seperti abah-anak. Sering berantem karena pekerjaan. Saya sering ngamuk-ngamuk karena menganggap abah membuat keputusan yang salah (kadang saya benar) dan dia sering memarahi karena menganggap saya berbuat salah (kadang dia benar).

    Sama-sama sibuk. Tidak ada waktu untuk liburan sendiri-sendiri. Apalagi liburan bersama.

    Yada yada yada, waktu berlalu…

    Pada 2007, ketika abah berkutat dengan proses ”Ganti Hati”-nya, kami sekeluarga diminta bersama di Tiongkok. Berbulan-bulan bersama di Tianjin, pada suatu hari kami benar-benar berada di ruang (rumah sakit) yang sama selama beberapa jam.

    Rasanya aneh.

    Saking anehnya, saya nyeletuk, ”Kayaknya ini kali pertama kita benar-benar satu ruangan selama berjam-jam…”

    Abah kemudian berhasil menaklukkan cobaan hidupnya yang terberat itu…

    Yada yada yada, waktu kembali berlalu…

    Abah memulai hidupnya di pemerintahan, mendedikasikan hidupnya untuk memajukan bangsa ini. Pindah ke Jakarta bersama ibu, orang paling tabah sedunia.

    Kalau weekend, abah dan ibu beberapa kali pulang. Tapi, bukannya bersama keluarga. Yang namanya pejabat, lebih banyak tamu yang datang. Bahkan, acara santai keluarga pun kadang ”terganggu” oleh tamu-tamu, yang kadang-kadang tidak diundang.

    Jujur, saya benar-benar merasakan kalau enak jadi anak pengusaha daripada jadi anak pejabat…

    Hebatnya, abah dan ibu selalu sempat menengok cucu-cucu.

    Lucu juga sudut pandang kakek dan nenek.

    Dulu, waktu kecil, ketika minta dibelikan mainan kereta api, saya malah diberi sapu lidi dan segenggam karet gelang. ”Bikin relnya dulu,” kata abah.

    Ketika kepada ibu minta dibelikan mobil-mobilan seharga Rp 3.500, malah dibelikan sepeda motor plastik seharga Rp 1.850…

    Sekarang cucu-cucu punya mainan terbanyak di dunia.

    Tidak apa-apa, ha ha ha. Wong dulu, waktu saya masih kecil, kami memang tidak punya uang. Lagi pula, sekarang kami –anak-anak– sudah punya cukup uang untuk beli mainan-mainan mahal sendiri…

    Yada yada yada, waktu berlalu…

    Abah tidak lagi jadi pejabat. Ibu tampaknya yang paling bahagia. ”Abah sudah merdeka, Lik,” katanya dengan wajah berbinar-binar.

    Ulik adalah panggilan mereka untuk saya.

    Karena ibu adalah orang yang paling harus tabah, saya bisa membayangkan betapa bahagianya ibu ketika momen itu benar-benar tiba.

    Tidak lagi jadi pejabat bukan berarti abah tidak lagi sibuk. Percaya deh, abah ini orang paling sibuk sedunia. Kalau tidak ada kesibukan, dia akan mencari kesibukan sendiri.

    Satu yang saya ucapkan terima kasih terbesar: Dia memutuskan tidak mau kembali tinggal di Surabaya. Salah satu alasannya, dia tidak mau mengganggu saya di Jawa Pos.

    Bagi seseorang yang mengorbankan begitu banyak untuk mengembangkan sesuatu, adalah sesuatu yang luar biasa bagi abah untuk bisa melakukan itu.

    Pernah dia berpesan bahwa kita harus mampu untuk let go. Benar-benar melepas sesuatu ketika benar-benar harus melepasnya. Jangan menggandoli, jangan mengganggu. Malah bikin tersiksa, katanya.

    Saya rasa, kita semua tahu, tidak banyak orang yang bisa seperti itu. Bisa mengantisipasi dan menaklukkan post-power syndrome sebelum menghadapinya.

    Ada banyak teman saya yang second generation sampai sekarang kesulitan berkembang karena masih ”digandoli” orang tuanya. Saya bersyukur tidak seperti itu…

    Yang saya dan adik saya juga merasa bersyukur, abah sekarang bisa merasakan hidup yang lebih ”normal”. Pernah sekali dia menjemput cucu dan mengantarkan mereka ke sekolah. Pernah dia ikut masuk kelas dan mengajar.

    Seingat saya, dulu saya hanya sekali diantar abah ke sekolah. Waktu itu masih SD dan dia membawa sabuk. Wkwkwkwkwkwk, dia memaksa saya sekolah gara-gara saat itu saya sedang menjalani fase tidak mau sekolah…

    Yada yada yada, liburan pun tiba…

    Penghujung 2014 adalah kesempatan bagi keluarga kami untuk benar-benar berlibur bersama. Abah, ibu, anak, dan cucu.

    Saya sendiri biasanya hanya mendengar atau melihat teman berlibur bersama keluarga di akhir tahun. Sebab, biasanya pas akhir tahun saya di kantor.

    Pernah sebelumnya abah pergi bersama adik saya dan keluarga. Tapi, rasanya kok tidak seperti liburan. Karena masih dibumbui pekerjaan (dan tamu-tamu).

    Dan abah ini benar-benar orang yang tidak bisa santai. Ketika di Tiongkok dan punya waktu luang, dia pernah mengajak saya pergi ke kota lain. Ke mana? Caranya gampang. Pergi ke bandara. Lihat papan jadwal penerbangan, lalu pergi ke kota yang penerbangannya paling segera berangkat.

    ”Ke Dalian yuk,” kata abah.

    Dari Dalian begitu lagi. Ke bandara seenaknya, lihat papan jadwal, lalu memutuskan, ”Ke Qingdao yuk.”

    Tapi, kali ini kami benar-benar berusaha menjadikan acara itu benar-benar liburan sekeluarga.

    Tujuan? Penentuannya juga seru. Abah mengusulkan ”tempat-tempat ajaib” yang butuh ”setengah perjuangan” untuk menuju ke sana.

    Untung, dia bisa ”disadarkan” bahwa cucu-cucunya beberapa masih berumur 5 tahun. Pilihan pun ke Portugal dan Spanyol. Bukan pilihan yang utama pula sebenarnya. Lha ngapain ngajak anak-anak kecil ke Eropa lihat gedung-gedung tua?

    Tapi, akhirnya itu ”kompromi” terbaik.

    Dasar abah, disuruh benar-benar santai memang tidak tahan.

    Di Portugal, ketika bosan dengan Lisbon, menyempatkan diri naik kereta ke Porto. Bukan menginap atau jalan-jalan. Pokoknya naik kereta pagi selama tiga jam ke Porto. Lihat kotanya. Lalu, naik kereta lagi selama tiga jam, balik ke Lisbon di siang hari.

    Di Cordoba, Spanyol, lagi-lagi dia bosan. Pagi-pagi dia sewa mobil dan sopir sendiri, lalu menyempatkan diri mengunjungi sebuah pembangkit listrik bertenaga matahari yang tak jauh dari sana.

    Siang sudah balik. Jadi, sudah kembali makan dan jalan-jalan bersama anak dan cucu. Malam-malam atau pagi-pagi lain pun begitu. Kalau bosan, bisa jalan kaki sendiri keliling kota.

    Beberapa kali pula dia berusaha mengubah jam kereta atau pesawat dari jadwal yang sudah direncanakan. Untung, dia bisa terus disadarkan bahwa ”sirkus” kami adalah bus berisi anak-anak kecil. Bukan mobil reli yang bisa ngepot pindah haluan dengan cepat.

    Ha ha ha ha… Memang orang yang tidak bisa diam.

    Yada yada yada, liburan berakhir…

    Mendarat di Jakarta di sore hari, rombongan utama melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya. Abah? Langsung ada jadwal rapat malam itu juga.

    Banyak orang pulang liburan yang santai sebentar, baru Senin kembali tancap gas. Kalau disuruh seperti itu, abah mungkin bisa gila, ha ha ha ha…

    Well, liburan sudah berakhir. Waktunya menjalani 2015. Ini bukan tahun politik. Jadi, ini tahun business as usual. Segala perencanaan, segala program, bisa lebih tenang dijalankan.

    Bagi banyak orang, hidup kembali normal. Bagi keluarga kami, waktunya kembali ke jalur yang ”tidak normal”… (*)

    https://thedahlaniskanway.wordpress.com/2015/01/14/liburan-di-antara-kesibukan-eyang/

    Posted by Marshall D. Teach | 19 Januari 2015, 9:37 am
  13. Reblogged this on .. Travelling is Healing .. and commented:
    Pak Dahlan Iskan selalu menginspirasi. Bagaimana memiliki jiwa yang “merdeka” dan melakukan berbagai perjalanan tidak hanya karena keindahan tempat tujuan, tapi juga karena hikmah dan ilmu yang dapat kita ambil.

    Sebagaimana salah satu wejangan Imam Khomeini, pelajarilah ilmu teknologi untuk mendekatkan kita pada Tuhan.

    berpergianlah.. maka jiwamu akan disehatkan. selamat menempuh perjalanan! 🙂

    Posted by Milta Muthia | 19 Januari 2015, 10:03 am
  14. senin semangat. i like monday. belajar belajar belajar dan kerja kerja kerja

    Posted by sefia | 19 Januari 2015, 11:00 am
  15. Subahanallah….semangat dan dedikasi terhadap bangsa n negara, sayang pemerintan sekarang…tak memanfaatkan potensi yg dimilikinya.

    Posted by Mustahil | 19 Januari 2015, 11:00 am
  16. Nah lo…ketahuan, Ulik masih “diakali” abah yang selalu punya misi tersembunyi.
    Buat saya, cerita ini membuat saya iri yang menyenangkan. Senang sekali melihat kisah kehidupan abah yang selalu terus bekerja bekerja dan bekerja.
    Semoga ibu tetap paling tabah.
    Cerita yang menyenangkan.
    Terimakasiiiiih sekali.

    Posted by ernald | 19 Januari 2015, 12:20 pm
  17. alhamdulillah, akhirnya bisa baca lagi tulisan abah.

    Posted by Heiruddin | 19 Januari 2015, 1:07 pm
  18. Saya sudah buka Youtube yg disarankan pak DI.Saya menangis haru melihat kebesaran jiwa anak2 itu. Sebenarnya program tayangan TV harus banyak mengangkat hal2 semacam ini. Jangan hanya intrik2 saling menjegal bahkan percobaan membunuh. Ini sangat merusak jiwa pemirsa sehingga menirunya. Seandainya pemimpin2 di negara ini bisa mempunyai kebesaran jiwa anak2 itu yg menghargai kemampuan saingannya,Indonesia pasti akan makmur dan jaya.

    Posted by lumpiarivai | 19 Januari 2015, 4:12 pm
  19. ini baru motivasi

    Posted by U Tuh | 19 Januari 2015, 5:14 pm
  20. saya akan selalu baca dan cari tulisanmu pak dahlan

    Posted by ahmad | 19 Januari 2015, 10:06 pm
  21. Wow, keren bisa jalan2 ke banyak tempat. Kelak, saya juga ingin mengunjungi banyak tempat. 😀

    Posted by Imam Rahmanto | 19 Januari 2015, 10:47 pm
  22. Alhamdulillah, apa yang jadi pemikiran saya selama ini setelah Abah tidak menjadi menteri BUMN lagi akhirnya terjawab sudah dengan terbitnya kembali Manufacturing Hope. Teruslah Abah mentranfer inspirasi dan semangatnya untuk banyak orang, terutama saya.

    Posted by Andi Satria | 20 Januari 2015, 1:36 pm
  23. Reblogged this on Fractal.

    Posted by wagenugraha | 20 Januari 2015, 6:23 pm
  24. izin reblog pak.. 😀

    Posted by rohmanf2 | 20 Januari 2015, 8:04 pm
  25. Reblogged this on Rohmanf2's Blog.

    Posted by rohmanf2 | 20 Januari 2015, 8:04 pm
  26. Reblogged this on farah adiba nm.

    Posted by farahadibanm | 20 Januari 2015, 8:49 pm
  27. Reblogged this on Iqra' Bismirabbika and commented:
    Luar biasa semangat belajar bapak ini 🙂

    Posted by raymaimun | 20 Januari 2015, 11:03 pm
  28. lagi lagi luar biasa, tulisan seoperti ini yg saya baca saat menunggu antrian, ditambah dong beh jgn cuma hari senin aja.

    Posted by kasim | 21 Januari 2015, 7:57 am
  29. Subhanallah. Serasa mengikuti perjalanan. Trims.

    Posted by Bitrik S | 21 Januari 2015, 9:45 am
  30. Sampai ketemu pak dahlan 🙂

    Posted by dewitya | 21 Januari 2015, 6:51 pm
  31. Pentingnya Rabu ’’Pemecah’’, Pentingnya Suka-Suka

    Azrul Ananda
    Dirut Jawa Pos Koran
    21 Januari 2015

    Mengapa ’’Happy Wednesday’’? Ya mengapa tidak? Suka-suka yang nulis wkwkwkwk…

    Yang jelas, hari Rabu belakangan punya arti tersendiri buat saya.

    Yang jelas, hari Rabu saya butuhkan sebagai ’’pemecah’’.

    Yang jelas, saya nggak bisa nulis untuk edisi Senin karena slot-nya sudah diambil Pak Dahlan Iskan…

    Pokoknya, ini kolom suka-suka. Dan suka-suka itu penting. Suka-suka bahkan bisa berguna banyak. Kalau penasaran, baca terus saja. Kalau ogah, ya sudah wkwkwkwk…

    ***

    Secara pribadi, hari Rabu dalam setahun belakangan ini memang hari yang mungkin paling saya tunggu. Khususnya setelah memulai hobi road cycling hampir tiga tahun lalu.

    Hari Rabu merupakan hari latihan paling serius saya di Surabaya. Bangun pukul 4 pagi, berangkat kumpul teman-teman pukul 5 pagi, lalu bersepeda seserius mungkin (baca: secepat dan sesengsara mungkin) menuju selatan.

    Menuju Pandaan, lalu menanjak ke Tretes. Lalu, turun dan secepat mungkin pulang ke rumah. Sebisa mungkin sebelum pukul 9 sebelum ke kantor. Total biasanya 101 kilometer.

    Dalam seminggu, itu belum tentu jarak paling jauh. Namun, dari segi intensitas, Rabu adalah yang terberat.

    Saking ’’seram’’-nya rute dan porsi latihan Rabu ini, ada rekan yang menyebutnya ’’Rabu Ceria’’ yang saya terjemahkan saja jadi ’’Happy Wednesday’’.

    Adakah hari seperti ini dalam hidup Anda? Satu hari yang didedikasikan untuk ’’habis-habisan’’ melakukan sesuatu yang Anda sukai?

    Cobalah melakukannya di hari Rabu. Hari yang bisa kita manfaatkan sebagai hari ’’pemecah’’ rutinitas.

    Pemecah setelah kembali tancap gas dengan rutinitas pada Senin dan Selasa. Seperti riset sebelum kembali menjalani rutinitas Kamis-Jumat dan weekend.

    Ya, di kehidupan ’’modern’’ ini, weekend sepertinya memang bukan hari istirahat. Weekend juga punya rutinitasnya sendiri. Bahkan bisa menjadi dua hari penuh obligasi, yang belum tentu membuat kita segar lagi sebelum menghadapi lagi Senin dan seterusnya.

    Tentu ini dari kacamata saya, tapi saya rasa saya tidak sendirian.

    Khususnya yang punya anak kecil-kecil, khususnya yang tinggal di kota seperti Jakarta dan Surabaya.

    Jalan-jalan ke luar kota lah, menemani bermain lah, dan lain sebagainya. Apalagi kalau ke luar kota. Macet panjang naik mobil ke luar kota, macet panjang lagi naik mobil kembali ke rumah.

    Semua merupakan kewajiban. Semua merupakan sesuatu yang tidak boleh kita gerutui, tidak boleh kita sesali.

    Bonus buat saya dan rekan-rekan di harian ini (dan harian lain yang benar-benar harian), dari dulu weekend juga tidak pernah jadi hari libur. Lha wong harus terbit tiap hari!

    Rasanya, kadang-kadang Minggu malam adalah momen yang paling melelahkan bukan? Membuat kita tak sabar segera menjalani lagi rutinitas hari Senin dan seterusnya.

    Buat saya, rasanya tak sabar segera kembali ke hari Rabu.

    Bangun pukul 4 pagi, berkumpul dengan teman-teman ’’gila’’ road bike lain pukul 5 atau sebelumnya, lalu habis-habisan lagi bersepeda, meluapkan segala yang perlu diluapkan dengan cara yang bukan hanya membuat badan kita lebih sehat, tapi juga lebih kuat…

    Silakan mencoba.

    Kalau bersepeda seperti saya, jadikan Rabu hari paling intens. Hobi lari dan olahraga lain mungkin sama. Awal-awalnya akan ’’sakit’’ dan melelahkan, lama-lama akan biasa.

    Kalau suka baca, mengapa tidak mencoba menuntaskan satu buku dalam satu hari (kalau urusan ini, saya sudah biasa melakukannya sejak SD, mungkin karena faktor turunan). Atau membaca semua huruf yang ada di sebuah majalah mulai cover depan sampai cover belakang. Atau baca setiap huruf di koran ini mulai depan sampai belakang.

    Silakan lakukan apa saja yang selama ini Anda sukai. Tidak harus pagi. Bisa Rabu sepulang kerja. Bisa juga siang tengah hari saat jam makan siang.

    Cobalah melakukan sesuatu yang Anda sukai itu dengan ’’lebih’’. Tidak harus lebih lama, tapi lebih intens. Sesuatu yang Anda sukai, tapi melakukannya sambil keluar dari zona nyaman.

    Senin akan selalu menjadi Senin. Selasa akan selalu menjadi Selasa. Kamis akan selalu menjadi Kamis. Dan Jumat belum tentu TGIF ( Thank’s God It’s Friday). Sabtu dan Minggu juga belum tentu refreshing.

    Cobalah jadikan Rabu Anda menjadi Happy Wednesday… Kalau bermanfaat, alhamdulillah. Saya sih merasakannya. Kalau tidak? Ya sudah. Kan Tuhan menciptakan orang berbeda-beda.

    Hehehe… (*)

    https://thedahlaniskanway.wordpress.com/2015/01/21/pentingnya-rabu-pemecah-pentingnya-suka-suka/

    Posted by Marshall D. Teach | 22 Januari 2015, 11:08 am
  32. Keren pak Dis

    Posted by touringrider | 22 Januari 2015, 5:43 pm
  33. MENDUKUNG ABAH 100%

    Posted by Djoko Sawolo | 24 Januari 2015, 1:50 pm
  34. .

    Posted by william | 26 Januari 2015, 1:49 am
  35. keren..

    Posted by falaq | 18 Februari 2015, 10:36 am
  36. keren sukses terus pa 😀

    Posted by Citra Indah | 8 Juni 2015, 12:45 pm
  37. Kapan berahirnya ya ?
    Sdh 3 bulan
    tiap hari 5 jam
    baca tulisan si abah g ad bosenya.
    tulisan kok kaya NARKOBA y
    bukin ketagihan.

    Posted by made gunakarya | 20 Januari 2020, 5:26 pm

Tinggalkan komentar