>>
Anda sedang membaca ...
Catatan Dahlan Iskan

Jalan Cepat Kelas Dunia untuk Pertamina

Jum’at, 13 Februari 2009

Dahlan Iskan – Peter F. Gontha : Jalan Cepat Kelas Dunia untuk Pertamina

Cita-cita direktur utama Pertamina yang baru dan cantik itu, Karen Agustiawan Galaila, antara lain ingin membuat Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia.

Mungkinkah?

Semua orang akan mengatakan “mungkin saja” atau “sangat mungkin” atau bahkan “harus bisa”. Tapi, kalau ditanya apa dasarnya, paling hanya akan menyebutkan bahwa Indonesia ini negara besar yang sumber migasnya luar biasa. Atau, “Petronas Malaysia saja yang dulu belajar ke Pertamina kini sudah mengalahkan gurunya itu dan sudah menjadi perusahaan kelas dunia”. Bahkan, Singapore Petroleum yang negerinya hanya satu pulau kecil yang tidak punya sumur minyak, sudah mengalahkan Pertamina.

Semua bentuk kekalahan Pertamina itu umumnya hanya dipikulkan kepada manajemen yang dinilai lemah dan belum kelas dunia. Atau karena manajemennya yang sering diintervensi kekuatan politik. Tapi, jarang yang melihatnya dari sudut yang lebih mendasar, yang kalau itu tidak diatasi, maka jangankan manajemen kelas dunia, yang kelas akhirat pun tidak akan bisa membuat cita-cita Karen itu tercapai.

Pokok persoalannya sangat mendasar. Bahkan, berada di landasan negara yang paling dasar: UUD 45. Khususnya pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kalau tidak ingin mempersoalkan ayat itu, setidak-tidaknya ada masalah yang terletak pada penjelasan pasal 33 ayat (3) itu yang hanya menyebutkan bahwa pasal tersebut “Sudah cukup jelas”.

Mungkin, ketika ekonomi global belum sehebat sekarang dan sistem akuntansi belum secanggih saat ini, bunyi pasal itu memang bisa saja “Sudah cukup jelas”. Tapi, dalam konteks perekonomian global saat ini, apalagi kalau untuk menjadi yang kelas dunia, kita juga harus menerapkan sistem akuntansi internasional. Maka pasal itu sangat tidak jelas.

Orang politik akan mengatakan apanya lagi yang kurang jelas. Tapi, orang akuntansi akan secara tegas mengatakan pasal itu tidak bisa dipegang. Padahal, untuk menjadi perusahaan kelas dunia, pengurusannya harus disesuaikan dengan “bahasa” akuntansi, bukan dengan bahasa politik.

Tegasnya, secara akuntansi kalau hanya dengan senjata kata “dikuasai” Pertamina tidak bisa memasukkan kekayaan alam itu di buku asset. Bahasa akuntansi menuntut kata yang jelas: dimiliki. “Dikuasai” dan “dimiliki” secara politik kelihatannya tidak ada bedanya, tapi secara akuntansi kata “dikuasai” itu tidak ada artinya apa-apa.

Kami tidak cukup ahli untuk memahami asal-usul lahirnya kata “dikuasai” itu. Kami juga tidak cukup waktu untuk melakukan riset mengapa dan apa latar belakangnya bahwa para pendiri republik dulu memilih kata “dikuasai” (yang tidak ada artinya apa-apa dari sudut akuntansi) dan bukan memilih kata “dimiliki”. Mungkinkah ini hanya karena para pendiri republik dan para anggota parlemen yang melakukan amandemen-amandemen UUD 45 berikutnya bukan orang akuntansi? Atau memang punya maksud tertentu -misalnya agar segera terjadi kompromi atas perdebatan krusial saat itu?

Apa pun latar belakangnya, kenyataannya sekarang bahwa kata “dikuasai” itu tidak ada nilainya apa-apa di mata akuntansi. Bahkan, secara politik juga menimbulkan kerawanan. Yang pro privatisasi akan berkeras bahwa kata “dikuasai” tidak sama dengan dimiliki. Sedangkan yang antiprivatisasi akan mengatakan sebaliknya. Singkat cerita, kata “dikuasai” itu akan cenderung diterjemahkan sesuai dengan keinginan yang lagi berkuasa -dan itu tidak bisa disalahkan.

Apa hubungannya dengan Pertamina yang ingin menjadi perusahaan kelas dunia? Hubungan itu sangat erat, seperti eratnya hubungan nyawa dan jantung manusia. Kalau soal “dikuasai” dan “dimiliki” ini bisa diperjelas, bukan saja Pertamina yang akan menjadi perusahaan kelas dunia, tapi juga Aneka Tambang, PN Gas, PLN, PTP, dan banyak lagi. Mereka akan sejajar dengan perusahaan sejenis yang ada di Malaysia, bahkan Tiongkok. Perusahaan Singapura akan dengan mudah dikalahkan.

Namun, penjelasan ini memang hanya akan dimengerti oleh orang-orang yang menekuni perusahaan dan mengerti akuntansi. Sayangnya, yang harus memutuskan “ya tidaknya” adalah politisi. Di sini terjadilah kerumitan itu: yang mengerti tidak bisa memutuskan, yang memutuskan tidak bisa mengerti.

Bahkan, kalau masalah ini bisa diselesaikan, bukan hanya perusahaan-perusahaan kita yang bisa menjadi perusahaan kelas dunia. Dampaknya lebih jauh lagi: apa yang diamanatkan UUD 45 itu bisa segera terlaksana. Yakni, menggunakan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Siapa tahu inilah jalan yang harus ditempuh agar pada 2030 nanti, Indonesia bisa menjadi negara terbesar kelima di dunia, sebagaimana yang sudah mulai diramalkan para ahli internasional.

Tegasnya, kata “dikuasai” dalam UUD 45 itu harus diperjelas maksudnya. MPR-lah yang bisa melakukannya. Ini sejarah besar yang harus dibuat. Apakah kata “dikuasai” itu memang sengaja akan terus dipakai agar tetap tidak jelas, atau yang dimaksud “dikuasai” itu tidak lain adalah “dimiliki”.

Memang terlalu berat untuk mengamandemen UUD 45 lagi. Sudah banyak yang alergi. Bahkan, jangan-jangan, kalau soal amandemen dibahas, banyak yang minta atret: kembali saja ke UUD 45 aslinya.

Karena itu, kami tidak mengusulkan amandemen UUD 45, tapi hanya mengusulkan perumusan baru penjelasan UUD 45 saja. Dalam penjelasan UUD 45 yang mengatakan, “Sudah cukup jelas” itu perlu diperbaiki, atau diperjelas.

Ada dua hal yang harus diperjelas dari pasal ini. Pertama kata “negara”. Kedua kata “dikuasai”. Dalam penjelasan UUD 45 yang baru nanti sebaiknya dirinci apa yang dimaksud dengan “negara”. Apakah BUMN? Atau kementerian? Atau siapa? Kalau BUMN, harus BUMN yang bagaimana? Yang sahamnya minimal 80 persen dimiliki negara? Atau lebih? Terserahlah MPR yang memutuskan, dengan mempertimbangkan aspek ketentuan akuntansinya.

Sedangkan kata “dikuasai” sebaiknya langsung diperjelas dengan penjelasan “yang dimaksud dikuasai adalah dimiliki”.

Dengan kejelasan itu, secara akuntansi, perusahaan seperti Pertamina akan langsung berubah. Apalagi, kalau manajemennya sekelas Karen yang pasti mampu mendayagunakan “modal” baru dari UUD 45 yang penjelasannya diperbarui itu.

Kejelasan maksud pasal 33 tersebut menjadi sangat penting karena bukan hanya kita akan bisa menghindarkan salah tafsir, tapi juga bisa dipakai dengan nyata untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa dengan cara yang belum banyak dipikirkan orang. Bahkan, cara ini sekaligus bisa dipakai bangsa kita untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Pada gilirannya, harkat dan martabat bangsa kita akan terangkat di dunia. Bukan saja kita bisa mengalahkan Petronas atau Singapore Petroleum Corporation, tapi kita juga bisa membuat harga diri seluruh rakyat kita meningkat.

Harga diri itulah yang belakangan dimiliki kaum Melayu di Malaysia. Setiap kali kami ke Malaysia, saya selalu bisa menangkap betapa rakyat di sana bangga akan negaranya -sambil meremehkan bangsa kita. Sekarang kita memang sudah punya kebanggaan baru: demokrasi. Tapi, demokrasi harus tetap diisi dengan kesejahteraan.

Karena yang kami usulkan ini bukan amandemen tentang bagi-bagi atau rebutan kekuasaan, melainkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara langsung, mestinya tidak ada satu pihak atau satu partai pun yang keberatan.

*) Di samping sebagai chairman/CEO Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah juga ketua Kadin Komite Tiongkok Jatim.

Di samping mengurus banyak sekali perusahaan, Peter F. Gontha adalah juga ketua Kadin Komite Amerika Serikat.

Diskusi

10 respons untuk ‘Jalan Cepat Kelas Dunia untuk Pertamina

  1. PAK, tanya nih.. Saya sampai sekarang masih bingung. Ya saya memang tergolong tidak mudah paham. BUMN itu adalah Badan Usaha Milik Negara. Jadi perusahaan ini yang punya adalah? Negara. Perusahaan ini jualan. Yang beli barang jualannya adalah? Rakyat? Brati dibeli oleh bagian dari negara itu sendiri? Bukankah mustinya kalau perusahaan ini milik negara Indonesia, maka yang membeli barang jualannya adalah negara lain? Seperti kalo saya punya perusahaan, maka konsumen saya adalah orang lain, bukan diri saya sendiri.
    Atau memang saya yang masih belum paham ya?

    Posted by pardi | 13 Februari 2009, 12:40 pm
  2. karena itu sebagai anggota parlemen dituntut tidak hanya mengerti soal berpolitik, namun yang lebih krusial adalah mengerti bagaimana menyelenggarakan suatu organisasi bernama negara agar negara tersebut dan bangsa yang menghuninya dapat mencapai kesejahteraan dengan mendayagunakan seluruh sumber daya yang dimiliki…

    Posted by Anto | 13 Februari 2009, 5:57 pm
  3. Saya agak kurang setuju kalau lapangan minyak yg ada hrs semuanya dimiliki pertamina. Saya rasa konteks dikuasai negara sudah cukup baik, tetapi pengelolaannya bisa juga dilakukan oleh pihak swasta. Tinggal bagaimana mengatur pembagian hasil yang tepat agar rakyat juga mampu merasakan hasilnya. Bukankah grup Jawa Pos juga mengelola lapangan minyak di Indonesia ?

    Posted by leo | 17 Februari 2009, 10:36 pm
  4. wah pak, saya agak telmi nih..kalau konteks bahasanya diubah dari ‘dikuasai’ menjadi ‘dimiliki’ apa serta merta rakyatnya sejahtera? tulisannya belum nyambung bener tuh…maksudnya piye pak?..(dasar telmi)

    Posted by kawulo alit | 21 Februari 2009, 6:18 pm
  5. Ayo kita rebut kembali aset-aset negara yang diambil bangsa asing..
    Mari bung rebut kembali..
    Dengan begitu tahun 2030 Indonesia mejadi negara terbesar kelima di dunia.
    Amin.

    Posted by iPrat potrait | 3 Maret 2009, 6:40 pm
  6. Pendapat Pak Dahlan Iskan itu bagus lho, kenapa nggak diikuti aja oleh pemerintah? Memang akan sangat efektif bila sebagian besar ladang minyak dimiliki oleh Pemerintah (Pertamina) dan hasil penjualannya benar2 buat mencukupi segala kebutuhan rakyat! Kalau dimiliki swasta dalam negeri or luar negeri tentu hasilnya buat kepentingan mereka sendiri kan?! Dukung Pak Dahlan (R. Bagus SM, Kaprodi Teknik Geofisika Universitas Lampung)

    Posted by bagus sapto | 7 Maret 2009, 11:55 pm
  7. Indonesia harus punya Perusahaan Nasional yang Kuat dan Tahan Banting, yang selalu berada di ujung depan dalam mensejahterakan rakyat. Sangat bodoh dan tolol jika pemerintah masih menganakemaskan perusahaan asing (Exxon Mobil, dll) dengan alasan nggak cukup modal buat melakukan eksplorasi dan produksi migas. Kenapa musti selalu takut dan tunduk pada kemauan asing? Jawabnya mungkin karena sebagian besar kita masih terjangkit penyakit hati ” Cinta Dunia dan Takut Mati”. Sehingga ambil aman dan mudahnya aja. Padahal Presiden Venezuela (Hugo Chaves)dan Presiden Brazil (Morales) berani berseberangan dengan AS dalam pengelolaan Migas mereka toh aman2 aja!!! Kapan Engkau Om SBY akan berani melawan Amerika??? (R. Bagus SM, Kaprodi Teknik Geofisika Unila)

    Posted by bagus sapto | 8 Maret 2009, 12:10 am
  8. Saya berpikir sebetulnya bagaimana cara UUD Pasal 33 tsb dapat diterapkan? Bagaimana sektor Migas dapat memberi kontribusi riil kepada kesejahteraan rakyat? Tujuan sektor Migas seharusnya adalah:

    1. Penyaluran produk migas kepada konsumer dengan kualitas, kuantitas dan harga memadai.

    2. Explorasi dan produksi cadangan migas nasional dengan cara yg optimal dalam jangka panjang.

    3. Hasil produksi migas disalurkan kepada daerah2 lokal dan lainnya secara pantas dan merata.

    Caranya bagaimana untuk menggolkan tujuan2 tsb sekaligus mengembangkan Pertamina?

    1. Promosikan iklim PMA yang sehat. Keahlian dan kapital dari PMA masih dibutuhkan untuk sekarang ini, mengingat keahlian dan kapital Pertamina masih kurang memadai untuk jalan 100% sendiri, terutama untuk membangun proyek2 skala besar.

    Saya sangat anti-nasionalisasi, karena buat saya itu adalah tindakan yg sangat myopic / jangka pendek. Lihat saja Venezuela & Chavez: mereka sekarang di cap sebagai negara bengal dan dijauhi oleh PMA. Bukan saja PMA sektor Migas yg hengkang, sektor2 lain nya pun kena. Jadi hal ini sebetulnya merugikan negara dalam jangka menengah & panjang.

    Selain itu, perusahaan2 yg di nasionalisasi pada umumnya jadi merugi besar dan tingkat efisiensi sangat rendah, karena kehilangan manajemen PMA yg profesional. Lihat saja PdVSa (BUMN migas nya Venezuela) yg terus merugi.

    Selain itu secara moral dan etika, nasionalisasi sama saja dengan mencuri / mengambil secara paksa, haram! Saya kira tidak ada agama apapun yg menyuruh kita mencuri / mengambil scr paksa. Kalau tidak puas dengan sistim bagi hasil nya, sebaiknya dirundingkan secara baik2 di meja perundingan, kalau perlu dimeja hijau. Paling tidak ada dasar yuridis nya. Kita negara beradab, bukan negara barbar, bukan?

    2. BP Migas pun harus terus mendukung supaya Pertamina diikutsertakan paling tidak sebagai major shareholder dalam tiap proyek. Ini sebagai satu katalis untuk menyalurkan sebagian hasil produksi kepada rakyat dan juga untuk membina Pertamina supaya terus berkembang.

    3. Pertamina harus di kelola secara sangat profesional. Pertama, bangun SDM. Management harus profesional dan berpengalaman. Kirim lebih banyak lagi engineers2 untuk ambil S3 di universitas luar negeri. Contoh Petronas dan Petrobras (Brazil), dimana SDM mereka sangat kuat.

    4. Pertamina harus punya ambisi untuk terjun ke manca buana: coba explorasi di Afrika dan Amerika Selatan. Petronas sudah terjun ke Afrika loh!

    5. Bersihkan pemerintah dan BP Migas dari korupsi, supaya sektor migas bisa di kelola secara maksimal, perjanjian2 dgn PMA bisa berimbang dan adil, dan juga supaya hasilnya bisa di salurkan secara merata tanpa bolong2.

    Posted by Irfan | 24 Maret 2009, 4:54 am
  9. Bahagia adalah milik mereka yg bangga menjadi dirinya sendiri tanpa mencemaskan apa yg dipikirkan orang lain tentangnya.

    Posted by http://bit.ly/1oxB0eE | 5 Juli 2014, 6:52 am
  10. Arteri mensuplai darah ke lubang anus turun ke kanal dari rektum atas dan membentuk jaringan kaya arteri yang berkomunikasi satu sama lain di sekitar anus. Karena jaringan yang kaya pembuluh darah pembuluh darah hemoroid memiliki persediaan siap darah arteri. Hal ini menjelaskan mengapa pendarahan dari wasir terang merah (darah arteri) daripada merah gelap (darah vena) dan mengapa pendarahan dari wasir kadangkadang bisa menjadi parah. Pembuluh darah yang memasok pembuluh hemoroid melewati jaringan pendukung dari bantal hemoroid.

    Posted by DEWI KURNIAWATI | 9 Februari 2015, 11:55 pm

Tinggalkan komentar